integritasnewsindonesia.com -- Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan pandangannya mengenai kasus pemerkosaan yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998. Dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI pada Rabu (3/7/2025), Fadli menegaskan bahwa dirinya tidak menyangkal adanya kasus pemerkosaan, namun ia mempertanyakan penggunaan istilah “massal” karena menurutnya istilah tersebut identik dengan tindakan yang sistematis dan terstruktur.
Fadli membandingkan dengan tragedi serupa di Nanjing dan Bosnia, yang mencatat ribuan korban. Ia menyatakan telah mengikuti isu ini selama lebih dari dua dekade, bahkan aktif berdiskusi dalam berbagai forum. Ia menekankan keterbukaannya untuk berdialog sebagai sejarawan, bukan semata sebagai pejabat negara.
Namun demikian, Fadli menyampaikan keraguannya terhadap dokumentasi yang ada, dengan merujuk pada laporan Majalah Tempo tahun 1998 dan pernyataan aktivis HAM Sidney Jones, yang menurutnya kesulitan menemukan korban secara langsung dalam proses investigasi.
Pernyataan Fadli memicu reaksi emosional dari sejumlah anggota Komisi X DPR RI. Wakil Ketua Komisi X dari Fraksi PDI-P, My Esti Wijayati, menangis saat menanggapi sikap Fadli yang ia nilai minim empati dan terlalu teoritis. Ia mengaku turut merasakan situasi mencekam saat kerusuhan 1998 terjadi di Jakarta.
Anggota Komisi X lainnya dari Fraksi PDI-P, Mercy Chriesty Barends, juga menyampaikan kekecewaannya sambil menangis. Ia menilai negara terlihat enggan mengakui sejarah kelam bangsa, meskipun testimoni para korban telah dikumpulkan sejak awal era Reformasi. Mercy membandingkan sikap Indonesia dengan Jepang yang akhirnya mengakui kekerasan terhadap perempuan Jugun Ianfu.
Koalisi Sipil Protes Penulisan Ulang Sejarah
Rapat juga diwarnai aksi protes dari Koalisi Masyarakat Sipil yang membentangkan spanduk di balkon ruang rapat. Mereka menolak proyek penulisan ulang sejarah nasional yang digagas Fadli, dan menyerukan agar pemerintah tidak memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto. “Hentikan pemutihan sejarah!” dan “Dengarkan suara korban!” menjadi sorakan yang menggema dalam ruang sidang.
Fadli menanggapi aksi tersebut dengan santai dan menyebutnya sebagai bentuk aspirasi yang biasa terjadi. Ia tetap berkeras melanjutkan proyek penulisan sejarah ulang, yang menurutnya bertujuan mengisi kekosongan sejarah selama 26 tahun. Ia mengingatkan bahwa penulisan dilakukan oleh sejarawan profesional dari berbagai latar belakang dan tidak semestinya langsung dihakimi.
Mengutip Bung Karno, Fadli menekankan pentingnya bangsa untuk tidak meninggalkan sejarah. Menurutnya, sejarah perlu ditulis dari sudut pandang Indonesia dengan pendekatan yang positif, sambil membuka ruang diskusi akademik di kalangan sejarawan dan intelektual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar